Saat Punya Wudhu Suami Sentuh dan Cium Istri, Apakah Batal? Berikut Jawabannya Biar Gak Bingung!!

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk, sampai kalain mengetahui apa yang kalian katakan; dan jangan pula dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat, sampai kalian mandi; dan jika kalian dalam keadaan sakit, atau safar, atau salah seorang dari kalian datang dari tempat menunaikan hajat, atau kalian “menyentuh” perempuan, kemudian kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci. Maka usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian, sesungguhnya Allah itu adalah Maha memaafkan lagi Maha mengampuni.” (QS. An-Nisa:43)



Makna ayat di atas dapat disimpulkan secara ringkas sebabagi berikut :
Larangan mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk.
Larangan shalat dalam keadaan junub,
Orang sakit boleh bertayammum
Musafir boleh bertayammum
Orang yang selesai buang air lalu ingin mendirikan shalat, maka ia harus tayammum jika tidak menemukan air.
Orang (Laki-laki) “yang menyentuh perempuan” lalu ingin mengerjakan shalat, maka ia harus bertayammum jika tidak menemukan air.
Bertayammum harus dengan debu yang suci
Tayammum hanya membasuh muka dan tangan.

Poin-poin di atas tentu harus diperjelas lagi, yaitu:
Orang sakit boleh bertayammum apabila sakitnya itu sangat menyulitkan untuk berwudhu, atau penyakitnya bertambah jika menyentuh air.
Musafir boleh tayammum karena rukhashah, tapi jika ia berwudhu tentu lebih utama (afdhal)
Keluar sesuatu dari dua jalan (BAB atau BAK) adalah sesuatu yang membatalkan wudhu. Dengan demikian, harus berwudhu jika ingin melakukan suatu ibadah yang hanya sah dengan wudhu seperti shalat dan thawaf atau menyentuh mushaf. Ketika tidak ditemukan air, maka boleh bertayammum.
“Menyentuh perempuan” juga termasuk perkara yang membatalkan wudhu.

Arti atau maksud dari  “menyentuh perempuan”  (لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ), para ulama berbeda pendapat. Dengan berbedanya pendapat dalam mengartikan kata tersebut, maka tentu juga berbeda pendapat dalam menghukumi batal wudhu karena bersentuhan dengan perempuan.

Berikut perbedaan pendapat mereka :

A. Madzhab Hanafi

Madzhab ini mengartikan “Menyentuh perempuan” dengan “Bersentuhan dua kelamin” atau berhubungan suami istri.

Madzhab ini berdalil dengan tafsir Ibnu Abbas RA bahwa arti “menyentuh perempuan” adalah Jima. Dengan demikian madzhab ini berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, baik suami mapun istri atau ajnabi (bukan mahram) tidak membatalkan wudhu.

B. Madzhab Maliki dan Hambali.

Kedua madzhab ini berpendapat bahwa makna “menyentuh perempuan” dalam suarat Aniisa ayat 43 di atas adalah dengan makna sebenarnya, yaitu menyentuh kulit antara laki-laki dan perempuan, bukan mengartikannya dengan jima’ sebagaimana yang diartikan ulama madzhab Hanafi.

Menurut kedua madzhab ini, artti menyentuh perempuan adalah menyentuh perempuan dengan syahwat. Maksudnya adalah seorang laki-laki yang menyentuh kulit perempuan dengan syahwat (nafsu), maka batal wudhu’nya. Para ulama madzhab ini berdalil dengan beberapa hadits sebagai berikut :

“Dari Ibrahim At-Taymi dari Aisyah RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium sebagaian dari istri-istri beliau kemudian beliau shalat tanpa berwudhu” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i).

Hadits lainnya, masih riwayat Aisyah RA :

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”.(HR. Muslim dan Tirmidzi)
Dari kedua hadis di atas, tentu dapat difahami bahwa bersentuhan kulit antara Rasulullah SAW dengan Aisyah RA tentu tidak dalam keadaan syahwat. Dengan demikian, menurut madzhab ini , makna “menyentuh perempuan” dalam surat An-Nisa ayat 43 diartikan dengan “menyentuh kulit perempuan dengan syahwat”. Dengan begitu, bersentuhan kulit antara istri atau suami apabila disertai dengan syahwat adalah membatalkan wudhu. Tapi apabila bersentuhan kulit tidak disertai dengan syahwat maka tidak membatalkan wudhu.

Namun, Madhab Malik dan Hambali agak sedikit berbeda menghukumi persentuhan kulit laki-laki dan perempuan sebagai berikut :

– Madhab Maliki tidak membatasi apakah yang disentuh itu perempuan, laki-laki, anak kecil yang belum baligh, menyentuhnya dengan penghalang atau tidak. Patokannya adalah menyentuhnya dengan diiringi syahwat.

– Madzhab Hambali mensyaratkan bahwa yang disentuhnya itu adalah khusus perempuan (laki-laki tidak ternasuk ) dan tidak menggunakan penghalang. Apabila seorang laki bersentuhan kulit dengan perempuan  dan disertai syahwat dan tanpa penghalang, maka batal wudhu’nya walau pun kulit perempuan yang disentuhnya itu adalah jenazah.

Madzhab Syafi’i :

Madzhab ini berpendapat bahwa menyentuh kulit perempuan tanpa penghalang adalah batal wudhu, baik diringi syahwat atau tidak. Madzhab ini membatasi batalnya persentuhan dengan :
Batal apabila menyentuh yang bukan mahram. Yang dimaksud mahram di sini adalah mahram yang disebabkan karena keturunan (anak dengan orang tua, kakak dengan adik dll), atau karena persusuan, atau karena hubungan pernikahan (menantu dengan mertua). Adapun pesentuhan suami dan istri adalah batal.
Menyentuh lawan jenis yang bukan mahram tidak membatalkan apabila ia adalah anak kecil yang belum baligh dan secara adat tidak menimbulkan syahwat.


Dalil madzhab ini adalah :
Maksud “menyentuh perempuan” dalam surat An Nisa ayat 43 adalah menyentuh kulit, bukan jima’. Madzhab ini mengartikan kata tersebut secara tekstual, bukan kontekstual atau majaz.
Adapun hadis Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian shalat tanpa wudhu lagi adalah hadis lemah dan mursal sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
Ada pun hadis Aisyah RA bahwa kedua telapak kaki Rasulullah SAW perah tersentuh tangan Aisyah RA ketiau beliau SAW sujud, diduga bahwa persentuhan tersebut disertai penghalang sehingga tidak langsung terkena kulit antara keduanya. Penghalang itu bisa saja kain atau selimut Aisyah RA.
Kesimpulan :

Bahwa masalah ini adalah perkara khilafiyah yang sudah sangat klasik. Oleh karena itu, janganlah dibesar-besarkan sehingga menjadi penyebab pecahnya ummat Islam.

Wallahu a’lam.

Ridwan Shaleh. (Pusatkajianhadis.com)

Sumber : Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Alm. Syeikh Wahbah Zuhaili dan kitab-kitab lainnya.